Selasa, 29 Desember 2009

Implementasi Tauhid dalam Tasawuf

Implementasi Tauhid dalam Tasawuf

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Akhlak dan Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs.Syamsudin Yahya











Disusun Oleh:
Siti Mahmudah Umroh (083711034)
Taslim Wahyudin (083711040)
Abdullah Khusaeri (083811001)
Muhammad Fahri (093711008)




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
I. PENDAHULUAN Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang..yang..memperbaharui..agama-Nya.Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa tauhid sufistik itu?
2. Bagaimana tauhid sufisme mengenai Allah?
3. Bagaimana tauhid sufi mengenai Rosulullah?
4. Bagaimana tauhid sufi mengenai surga dan neraka?

III. PEMBAHASAN
A. Tauhid Sufistik Tauhid atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli.Karena itu,maka kitadapatkan tauhid dalam perspektif teologis,seperti yang tercermin dalam konsep ”tanzih al-shifat”-nya Mu’tazilah;tauhid dalam perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan,esensi dan eksistensi adalah identik.Demikian juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik . Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat la ilaha illa Allah sebagai realitas,sehingga kalimat syahadat itu bermakna ”tidak ada tuhan selain Allah,”para sufi mengartikan kata ilah sebagai realitas,sehingga kalimat syahadat itu bermakna “tidak ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah .”Dari sini mereka memahami hanya Allah yang real,yang hakiki,sedangkan yang lainnya nisbi dan semu.Ketika dikaitkan dengan wujud,maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul ada;Dialah realitas terakhir,yang berarti wujud yang sejati.Karena itu terdapat identitas antara yang Hak,yaitu Tuhan dan wujud.Dia adalah satu-satunya wujud yang Hakiki,dan yang Hak adalah satu-satunya yang wujud.Dalam konteks inilah para sufi berbicara tentang kesatuan wujud ,dimana dinyatakan tiada yang lain yang wujud kecuali Dia . Pernyataan tiada tuhan yang wujud kecuali Dia bukanlah sekedar permainan kata-kata atau basa-basi,tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi.Bahkan penghayatannya yang terdalam,seorang sufi.

B. Tauhid Sufisme Mengenai Allah Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai "kebenaran" dengan ucapan "anal Haq" = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: "Akulah Tuhan." ) . Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.. Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa'dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi 'l-lah (Ja'far Abu 'l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi'ah Qaramitah, suatu kelom¬pok Syi'ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11 . Dan di antara aqidah sufi yaitu Wihdatul Wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan) di mana tidak ada pemisahan antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh tasawwuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu 'Arabi, Ibnu Sab'in, At-Tilmasani, Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya.Ada pula aqidah shufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawwuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana') dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka' (tetap/ bersatu dengan Allah SWT) . Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M). Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa'budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku)." Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila. Menurut pandangan para shufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawwuf. Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah). Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan --aneh-aneh-- yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang shufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang shufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri shufi itulah yang sedang berbicara .
C. Tauhid Sufi Mengenai Rosulullah Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawwuf seperti perkataan Busthami: "Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya." Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya 'Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari'atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah Di antara mereka (orang-orang shufi) ada yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muham¬mad), dan dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/ pengikutnya .
D. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan Neraka Mayoritas orang shufi berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib. Menurut mereka, yang patut dituntut adalah al-fana' (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah SWT) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam... Inilah surga orang shufi yang mereka klaim. Adapun mengenai neraka, orang-orang shufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang sempur¬na. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M). Dan orang shufi yang berkeyakinan dengan Wahdatul Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni'matannya, tidak kurang dari keni'matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya.Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi, Fushushul Hukum . Orang jahil di masa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang ting¬gi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi (jelas) menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa:
Mereka berdo'a kepada Kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu'." (QS Al-Anbiyaa': 90) .
Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah dan keutamaanNya,sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya,padahal para nabi itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya.Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang Arab Badui kepada Nabi SAW: "Wallahi,sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik --suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu'adz.Namun hanya aku katakan,"Ya Allah,aku mohon surga kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka." Lalu Rasulullah saw berkata: "Sekitar itu juga bacaan lirih kami." (Hadits Riway¬at Ibnu Majah).
IV. KESIMPULAN Dari uraian di atas,dapatlah penulis simpulkan bahwa pernyataan tiada tuhan yang wujud kecuali Dia bukanlah sekedar permainan kata-kata atau basa-basi,tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi.Bahkan penghayatannya yang terdalam,seorang sufi dan potensi kesufian itu sebenarnya telah ada pada setiap orang, oleh karenanya ketika potensi itu dipupuk dan disiram dengan baik, maka ia akan tumbuh subur dan berkembang secara cepat. Bahkan ada kecenderungan pertumbuhannya menjadi tak terkendali.
V. PENUTUP Demikian makalah ini kami buat.Dalam makalah tersebut memang tidak begitu dijelaskan secara panjang mengenai implementasi tauhid dalam tasawuf.Kami yakin masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.Namun sedikit banyak makalah ini Insya Allah bisa memberi sedikit kontribusi bagi kita semua tentang pemahaman tentang implementasi tauhid dalam tasawuf.Mohon maaf bila dalam penulisan masih terdapat banyak kesalahan.Semoga makalah yang simpel ini bisa memberikan wacana untuk kita ke depan dalam membangun masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai islam.
























VI. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mulyadhi,Menyelami Lubuk Tasawuf,Jakarta:Erlangga,2006. Ahmad Jaiz,Hartono,Tasawuf Belitan Iblis, Jakarta:Darul Falah 1999.
Ridwan,Kafrawi dkk, Ensiklopedi Islam,Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,1999.
Al aliyyi Al-Qur’an dan terjemahnya,Bandung:PT.Diponegoro,tahun 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar