Selasa, 05 Januari 2010

Tugas Fiqh

Ujian Semester Mata Kuliah Fiqh

Soal

1. Sejauhmana kadar najis yang dima’fu menurut mazhab :
a. Hanafiah
b. Malikiyah
c. Suafi’iyah dan
d. Hanabilah

2. Hal-hal apa saja yang menjadikan perselisihan mazhab terkait batalnya wudhu ?
Mana yang lebih kuat menurut anda disertai alas an aqli dan naqlinya?

3. Istilah مختلطة , معتادة , مبتدأة terkait persoalan apa dan bagaimana jalan keluarnya disertai argumentasinya ?

4. a. Apakah sama pengertian antara syarat wajib shalat dengan syarat sahnya shalat ?
b. Bagaimana hokum meninggalkan shalat dan dasar hukumnya bagi yang sudah memenuhi syarat wajib shalat ?
c. Apakah setelah shalat perlu wirid ? Dasar hukumnya apa ? Menurut anda dengan bersuara atau tidak, dusertai dalilnya ?

Jawab:

1. Kadar najis yang dimaafkan menurut beberapa pendapat ulama’ mazhab yaitu
a. Menurut mazhab Hanafi
Batasan najis yang bisa dimaafkan yang dilihat dari segi najis mugholadzoh atau mukhofafah adalah ukuran najisnya sedikit. Kadar sedikit dari najis mugholadzoh yang kering ialah sebanding dengan 20 kirad. Sedangkan najis yang berwujud cairan yaitu telapak tangan. ( hlm. 169 baris ke-8 ).
Najis yang mempunyai kadar yang sedikit atau ringan pada pakaian adalah kurang dari seperempat pakaian, sedangkan najis pada badan ukurannya adalah najis yang kurang dari seperempat anggota tangan dan kaki. ( 169 baris ke-13 ).
Najis yang dima’fu adalah sesuatu yang sedikit baik itu dari kencing, kotoran kucing ataupun kotoran tikus di dalam makanan dan pakaian karena dhorurot. Begitu juga setetes najis yang jatuh dalam wadah, atau percikan air kencing yang tidak tampak. Begitu juga darah yang mengenai jagal ( pemotong hewan ) , bekas lalat yang hinggap pada najis, bulu himar, sapi, ketika dlorurot dan basah. ( hlm 169 baris ke-3 ).
Begitu pula darah yang tertinggal di leher hewan sembelihan sebab adanya udara untuk menghindarinya, dn dari darah yang tertinggal di pinggang dan juga di hati karena darah tersebut tidak mengalir.
Pada pendapat yang shahih termasuk juga darah yang tidak menyebabkan batalnya wudhu darah nyamuk , kutu meskipun dalam jumlah yang banyak. Selanjutnya darah ikan menurut keterangan yang shahih dan air liur keledai ataupun himar dan darah orang yang mati syahid walaupun darahnya mengucur. ( hlm.170 baris ke-6 ).
Yang termasuk najis ma’fu yang dikarenakan dhorurot adalah uap najis, debunya, begitu pula angina yang menerpa, najis kemudian mengenai pakaian, kecuali kalau memeng tampak jelas bekas najis tersebut pada pakaiannya. ( hlm.170 baris ke -11 )
Termasuk najis ma’fu pada sumur tempat minum unta, dan kambing yang masuk tempat air itu. Selama najis itu tidak banyak, yang dinamakan sedikit adalah sesuatu yang dianggap sedikit oleh pandangan mata, sedangkan yang dinamakan najis banyak adalah sesuatu yang dianggap jorok menurut pandangan itu juga. (hlm.170 brs 14 ).
Adapun kotoran burung yang terbang yang halal dimakan adalah suci. Akan tetapi apabila buang kotoran itu tidak dalam keadaan terbang maka hukumnya najis mukhoffah. ( hlm 170 baris 17 ).

b. Menurut mazhab Maliki
Najis ma’fu antara lain adalah yang sedikit dari hewan darat, nanah, darah dari luka. (hlm.171 baris 2 )
Dan begitu juga setiap najis yang sulit mencegahnya dinisbatkan pada shalat dan ketika masuk masjid, bukan dinisbatkan pada makanan dan minuman. Oleh karena itu apabila najis tersebut mengenai makanan atau minuman, maka keduanya menjadi najis, dan tidak boleh dimakan ataupun diminum. ( hlm.171 baris 6 ).
Sedangkan najis ma’fu yang slit untuk mencegahnya adalah sebagai berikut :
Terlepasnya hadats yaitu hadats yang keluar dengan sendirinya tanpa adanya usaha, seperti air kencing madzi, mani, kotoran yang keluar dari tempatnya dengan sendirinya, dan tidak wajib dibasuh karena dhorurot dank arena hal itu tak mungkin terjadi setiap hari walaupun satu kali (hlm 171 baris ).
Basuhan dari penyakit bawasir jika mengenai badan, atau pakaian setiap hari meskipun satu kali. Adapun pada tangan atau sapu tangan maka tidak di ma’fu dari basuhannya, kecuali jika sudah sering menahan bawasir sekiranya dikembalikan dua kali setiap hari ( hlm.171 baris 12 )
Dan najis yang mengenai pakaian orang yang menyusui atau badannya baik berupa air kencing atau buang air besar anak kecilnya meskipun itu bukan anaknya, jika dia telah berusaha menghindari percikan dari najis itu ketika keluar, begitu pula tukang jagal , peternak, dokter yang mengobati tempat luka. Oleh Karen itu disunahkan bagi mereka mengganti baju ketika shalat ( hlm 171 baris ke-16 ).
Dan najis yang mengenai pakaian orang yang shalat atau badannya tempatnya baik itu berupa air kencing, kotoran kuda, himar jika dialami oleh seorang yang memang tugasnya menggembalanya memerah susunya, mengajarinya dan lain-lain karena sulit untuk menjaganya ( 172 : 3 ).
Bekas lalat atau nyamuk yang hinggap pada najis yang berada pada kaki dan mulutnya kemudian ia terbang dan menempel pada pakaian atau badan sehingga sulit menghindarinya (172 : 6 ).
Bekas tato yang sulit dihilangkan karena dhorurot ( 172:8 ).
Bekas handuk ketika mengusap pada kulit dengan menggunakan sapu tangan hinggga tempat kotoran itu melebar, kemudian membasuhnya. Karena sulitnya membasuh tempat itu sebelum terlepasnya cacat, apabila luka itu telah terlepas maka wajib membasuhnya, adapula pendapat yang mengatakan sunah (172:9 ).
Bekas bisul berupa nanah yang mengalir meskipun bannnnyak, baik mengalir dengan sendirinya atau karena memerah warnanya.
Lumpur air hujan dan airnya yang bercampur dengan najis ( jika mengenai pakaian atau kaki selagi tidak berlebihan meskipun setelah hujan telah reda, asal najis itu tidak lebih banyak dari pada lumpurnya bak dengan persangkaan atau yakin ( 172:19 ).

c. Mazhab Syafi’i
Najis itu tidak dima’fu kecuali najis yang diterangkan di bawah ini (173:11 ).
Najis yang tidak bisa dilihat oleh mata, darah yang sedikit, dan air kencing yang terciprat (173:12).
Banyak maupun sedikit dari darah bisul, dan nanah. Darah hewan yang tidak mengalir seperti kutu dan nyamuk. Tempat canduk, kotoran yang dibawa oleh lalat, air kencing codot atau kelelawar, air kencing dari orang yang keluar dari orang yang punya penyakit tidak bisa menahannya, darah istihadoh, air seni yang berbau, dan sesuatu yang tidak berbau.Menurut keterangan yang jelas , karena sulitnya menjaga itu semua. ( 173:13 ).
Akan tetapi apabila bisul itu pecah, membunuh nyamuk ,membawa pakaian yang ada najis ma’funya maka dima’fu pula hukumnya, hal ini karena jumlahnya yang sedikit itu. Itu semua karena tidak ada kesulitan untuk menjauhinya.
Termasuk najis ma’fu adalah kulit nyamuk dan yang semisalnya, kecuali anjing dan babi. Meskipundarah itu sedikit tidak akan dima’fu. Hitungan atau ukuran sedikit adalah menurut kadar yang berlaku pada umumnya. ( 173:18 ).
Begitupula najis yang sulit untuk menghindarinya. Menurut kebiasaan seperti Lumpur yang mengenai orang lewat yang diyakini kenajisannya. Dulu kala musim penghujan, bukan musim kemarau, dengan sarat najisnya tersebut tidak nampak kasat mata, dan disyaratkan pula orang yang lewat tersebut berhati-hati agar tak terkena najis dan najis itu mengenainya karena ia sedang berjalan atau berkendaraan bukannya dia jatuh ke tanah. (174:10 ).
Begitupula bangkai ulat di dalam buah-buahan, cuka, dan susu kental atau keju yang tercampur di dalamnya.
Dan dikategorikan dalam golongan najis ma’fu adalah rambut najis yang sedikit seperti hanya satu atau dua saja. Selain rambut/bulu anjing atau babi atau sesuatu dari peranannya atau salah satunya karena beserta hewan lain. Maka dari itu meskipun sedikit hukumnya tidak dima’fu. Termasuknajis ma’fu adalah banyaknya rambut dan hewan tunggangan dikarenakan sulit menghindarinya.(175:10).
Begitu pula bekas tato, kotoran ikan di dalam air jika memang tidak merubah air itu, darah yang melekat pada daging atau tulang, dan air liur orang tidur yang keluar dari ma’dah dan kotoran hewan berkaki empat air kencingnya.


d. Mazhab Hambali
Tidak ada yang dima’fu meskipun itu najis yang sedikit, dan tidak kelihatan wujudnya seperti najis yang melekat pada kaki lalat dan yang lain karena umumnya Firman Allh ‘dan pakaianmu maka sucikanlah’ kata ibnu umar
“ Rosulullah memerintahkan kita agar kita membasuh beberapa najis sampai tujuh kali”.(176:4).
Sedikitnya air kencing dari orang yang punya penyakit tidak bisa menahan air seninya hukumnya dima’fu karena sudah diupayakan agar kencingnya tidak keluar dan sudah barang tentu keadaan ini akan menyusahkannya( 176:15).
Dan sedikit dari asap najis, debunya dan uapnya, selama tidak kelihatan sifat najis itu, karena sulitnya menghindari hal ini.(177:3)

2. Hal-hal yang menjadikan perselisihan mazhab terkait batalnya wudhu
Dari sisi jumlah atau bilangan yang membatalkannyamenurut mazhab maliki ada tiga kelas, Syafi’I ada lima, Hambali ada delapan, dan Hanafi ada dua.(264:16)
Sedangkan hal-hal yang diperselisihkan adalah sebagai berikut:
 Semua yang keluar dari salah satu dua jalan baik qubul atau dzubul, baik itu umum atau tidak(265:2)
 Melahirkan atau dengan tanpa adanya darah atau tidak ditemui adanya darah ketika melahirkan(267:10)
 Sesuatu yang keluar dari selain dua jalan ( qubul dan dzubur ) seperti darah atau luka bengkok yang disertai nanah, dan naroh(267:14)
 Muntahz (269:4)
 Hilangnya akal disebabkan karena tercengang atau mabuk atau penyakit ayan –ayan(270:11)
 Menyentuh perempuan(273:1)
 Menyentuh farji baik dhubul maupun qubul(277:10)
 Ketawa ketika shalat ( 280:1)
 Makan daging unta ( 280:14 )
 Memandikan mayat ( 281:12)
 Bimbang dalam wudhu(282:9)
 Sesuatu yang mewajibkan untuk mandi(282:19)


3. مختلطة berasal dari kata خلط terkait dengan Lumpur bercampur najis yang mengenai pakaian atau kaki yang terkena Lumpur ini saat hujan atau mungkin setelah hujan reda dikhawatirkan itu bercampur dengan najis. Sekiranya kadar najis itu tidak lebih banyak dari lumpurnya, dia tidak terkena najis itu secara kasat mata yang tidak bercampur dengan yang lain maka bisa dima’fu(172:19) dan (173:1).
Jalan keluarnya yaitu dengan mengangkat pakaian ketika hujan,biar tidak terkena cipratan najis.

معتادة
Mempunyai arti menurut kebiasaan, persoalannya yaitu:
Darah yang keluar dari farji perempuan, darah yang keluar dari farji wanita ada tiga macam yaitu haid nifas dan istihadhoh. Untuk haid dan nifas sudah barang tentu merupakan darah yang keluar dari wanita sehat yang mengikuti kebiasaan pada umumnya. Akan tetapi yang dinamakan darah istihadhoh adalah mengalir ( keluar ) nya darah pada waktu yang tidak sesuai menurut kebiasaan.(478:8).
Permasalahannya adalah apakah sesuatu yang haram bagi wanita mustahadho itu sebagaimana keharaman yang ada pada wanita haid(478:15).
Solusinya adalah bahwa wanita mustahadhoh itu tidak ada larangan melakukan apa “yang diharamkan bagi wanita yang haid dan nifas, baik berupa mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh karena istihadhoh itu adalah hadats yang kekal sebagaimana air seni, air besar, dan kentut menurut kesepakatan fuqoha.
Persoalan yang lainnya yaitu bersuci wanita mustahadloh.
Bagaimanapun wanita mustahadloh adalah wanita yang mengalami ketidakstabilan dalam kesehatannya. Permasalahan yang muncul biasanya adalah darah istihadloh bukan termasuk darah haid dan nifas akan tetapi darah ini termasuk hadats.
Menurut para ulama mazhab hanafi, syafi’ii , hambali berpendapat bahwa dia wajib wudhu ketika masuk waktu shalat setelah membasuh farjinya ( 470:4 ).
Tidak ada kewajiban mandi kecuali hanya satu kali menurut mazhab empat, menurut pendapat mazhab syafi’I dam hambali disunahkan, sedangkan menurut mazhab hanafi dan maliki lebih baiknya mandi setiap akan melakukan shalat. (481:4).

مبتدأة
Ini terkait dengan persoalan tentang wanita yang mengeluarkan darah haid pertamakali, persoalannya adalah bagaimana anak perempuan yang baru pertama kali mengeluarkan darah itu menghukumi? Darah tersebut termasuk darah haid atau darah istihadoh.
Jadi untuk penjelasannya bahwa anak perempuan yang baru pertama kali mengeluarkan darah dibagi menjadi dua yaitu mubtada’ah mumayyizah: wanita yang baru mengeluarkan darah sedangkan dia sudah pintar maka hukkumnya adalah dloif darah itu dinamakan darah istihadoh, akan tetapi hendaknya dihukumi darah haid. Dengan syarat darah haid yang lebih kuat itu tidak kurang dari waktu haid (siang dan malam ) dan tidak melebihi waktu maksimal dalam haid ( 15 hari ) (485:13)
Yang selanjutnya adalah mubtada’ah ghoiru mumayyiah yaitu darah yang keluar pertama kali akan tetapi dia hanya melihat darah itu satu sifat(486:4) hokum haidnya adalah satu hari satu malam, sedangkan waktu sucinya adalah 29 hari.


4. a. syarat wajib adalah sesuatu yang harus ada pada suatu pekerjaan amal ibadah sebelum perbuatan amal ibadah itu dikerjakan, sedangkan pengertian syarat sah adalah sesuatu yang harus ada pada suatu pekerjaan/amal ibadah dalam waktu pelaksanaan suatu pekerjaan/amal ibadah tersebut.

b. Dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radhiyallahu 'anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berpendapat demikian4. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)
Mereka berargumen dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkanJberjalan,yangJberartiHiaHbolehjdibunuh5.
Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”j(HR.Muslim.no.242)
Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [LihatgTharhutlTatsrib,1/323]
Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan shalat karena menentangkkewajibannyalataugpungtidak.
Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullahu berkata:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula dalam Shahih At-Targhib watjTarhiblno.562)
Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang.

c. Dalilnya adalah riwayat shahih Bukhari dan shahih Muslim bahwa mengangkat suara dengan dzikir selepas shalat, adalah dimasa Rasulullah saw, dan berkata Ibn Abbas ra kami mengetahui selesainya shalat Nabi saw adalah dg terdengarnya suara dzikir ba'da shalat. memang hal ini menjadi Ikhtilaf, karena sebagian para Muhaddits mengatakan hal ini hanya dilakukan dimasa awal islam dan tidak lagi dilakukan kemudian, berkata Imam Syafii mengeraskan suara dzikir selepas shalat boleh saja dengan maksud mengajari dzikir selepas shalat, demikian pula pendapat sebagian Muhaddits lainnya. maka tentunya dalam hal ini apalagi dimasa sekarang ini, sebaiknya dzikir selepas shalat dikeraskan, demi melancarkan hadirin mengingat dzikir selepas shalat, karena kesemuanya adalah hadits Rasul saw, seperti istighfar, ayatul kursiy, tasbih tahmid takbir 33X dll, kesemuanya adalah dzikir dzikir Nabi saw selepas shalat, maka pelarangan akan hal ini adalah hal yg mungkar, karena hal ini syiar, berbeda dengan masa lalu yg kesemua sahabat adalah ahlul khusyu, sehingga berkata salah seorang sahabat : "aku belum pernah teringat segala sesuatu keduniawian saat shalatku sejak aku masuk islam",
demikian hebatnya khusyu mereka sehingga tak pernah teringat dg keduniawian saat shalat semenjjak mereka masuk islam, maka khusyu mereka terganggu dengan kerasnya suara dzikir di masjid, berbeda dg masa kini yg jiwa muslimin penuh dg syahwat, hawab nafsu, dan alam pemikiran penuh dg gangguan gangguan syaitan, bahkan diluar masjid suara suara lagu, dangdut, musik musik kuffar, menggelegar memecahkan telinga, maka selayaknya mengeraskan suara dzikir berjamaah demi menguatkan Iman dan khusyu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar